Cinta Senja, Yvone
Di muka pintu apartemen aku melihat Yvone berurai air mata, terisak-isak. Iamenyandarkan punggungnya ke pintu dengan tangan kanan memegang tongkat erat-erat. Yvone mengenakan mantel mandi biru muda dengan rambut pirangnya yang tipis, awut-awutan. Wajahnya sungguh susah. Ia tampak tak berdaya.
"Yvone..." Segera aku memeluknya. Tak pernah aku melihat perempuan mandiri ini begitu rapuh. Sehari-hari ia selalu berupaya tampak kuat,sehat, tak kurang suatu apa.
"Aku diminta pindah dari apartemen ini," bisiknya menyerupai rintihan. "Kau tahu itu adalah permintaan gila yang tak akan pernah kukabulkan.Tapi kali ini..." Sambil mengatakan itu ia menyusut mata dengan ujung jarinya.
"Siapa yang memintamu?" Aku yakin bukan pemilik apartemen ini yang mengusirnya. Sebab keduanya bersahabat baik. Sebulan sekali mereka suka saling undang untuk afternoon tea dengan kue-kue hangat buatan sendiri. Kadang di akhir pekan keduanya menghabiskan waktu di warung kopi.
"Dokter sialan itu," hujatnya dengan suara gemetar seraya menjatuhkan diri di kursi makan, di dapur. "Tiga hari lagi aku harus pindah.Tolong bantu aku mengepak beberapa barangku, ya."
Tak ada yang istimewa dari apartemen empat lantai di pojok perempatan Sherbrook Boulevard itu. Gedungnya yang menyerupai kotak, tampak tua dan loyo. Catnya buram. Tak punya halaman parkir. Untuk naik ke lantai atas masih harus meniti tangga demi tangga. Jauh beda dengan apartemen baru berlantai 30, di seberangnya, yang menyediakan mini market, kolam renang, aula, taman bermain anak-anak, ruang olahraga, dan tentu saja tangga listrik.
"Aku ingin menyelesaikan hidupku di apartemen ini. Dekat piano tuaku, di tengah alunan suara Pavarotti, dan harum lavender dari pengharum ruanganku," katanya satu saat sambil memamerkan koleksi CD Pavarotti yang berjejer di lemari kaca, di ruang tengah.
Yvone adalah satu-satunya perempuan di keluarga yang berpikiran maju di zamannya. Selesai SMA ia meninggalkan negerinya, Trinidad,dengan tekad melanjutkan sekolah. Ia fasih berbahasa Inggris dan Prancis.
Ia menyewa apartemen itu sendirian sejak diterima sebagai sekretaris di sebuah perusahaan elektronik puluhan tahun silam. Dengan uangnya ia bisa membeli rumah. Namun ia memilih tinggal di apartemen karena tak mau repot. Urusan pipa bocor, listrik tidak nyala, dan kompor rusak ditanggung pemilik apartemen. Ia menggunakan uangnya untuk pergi ke berbagai belahan bumi.
"Apartemen ini adalah saksi perjalanan hidupku. Saksi perjuanganku untuk bertahan dari ejekan karena tidak menikah. Kau tahu, zaman itu, perempuan tidak menikah adalah aib besar. Masyarakat menganggap memiliki suami lebih penting ketimbang karier. Laki-laki takut pacaran apalagi menikah dengan perempuan punya karier. Huh. Aku tidak menyesal dengan perjalanan hidupku. Kini aku bahagia perempuan bisa maju tanpa halangan. Lihat dia,"tuturnya satu saat ketika kami menyaksikan Hillary Clinton di televisi,diwawancarai tentang keikutsertaannya menjadi calon presiden dari Partai Demokrat.
"Aku tahu betapa apartemen ini berarti bagimu. Tapi kini, kupikir kau memang lebih baik pindah ke tempat lain," selaku.
"Ya, irama hidupku berubah setelah kecelakaan itu. Lihat," Ia menunjukkan tongkatnya. "Kini akuperempuan loyo, yang tertatih-tatih butuh pertolongan. Jadi aku memang harus pindah, " ungkapnya masih dengan air mata berurai.
Kaki Yvone terkilir di atas permukaan es di depan apartemennya, di musim dingin itu. Ia jatuh telentang tanpa seorang pun melihatnya. Seorang yang lewat kemudian terpanggil melihat ke arahnya karena mendengar suara pluit yang ia tiup. Benda itu selalu dibawanya ke mana-mana sebagai alat SOS. Ia menolak diberi telepon seluler, yang dianggapnya bikin repot. Meniup peluit untuk mencari pertolongan, katanya, lebih mudah ketimbang telepon seluler.
Sejak tergelincir, Yvone mengaku sering gelisah dan sulit tidur. Ia juga terkena diare dan demam. Kesehatannya terus menurun. Setiap hari ia mengeluh,menyalahkan diri sendiri, merasa tak berdaya, tak berguna. Dengan mata kelam Yvone mengatakan padaku, "Mungkin ini adalah tanda-tanda orang hendak menemui ajalnya." Aku diam saja, tidak tahu bagaimana harus menghiburnya.
Sebelumnya Yvone adalah perempuan sehat, mandiri, bahagia dan menikmati hidup. Ke mana-mana ia mengemudikan Honda Civic. Jika malas mengemudi ia masih senang naik bus atau metro. Jika jaraknya dekat, ia tak keberatan berjalan kaki.
Penampilannya selalu rapi dan wangi. Yvone rajin merawat gigi dan kulit. Ia membubuhkan kosmetik pada wajah dan bibirnya secara moderat.Pilihannya pada model baju dan warna cukup baik.
Hidupnya tertib dan rinci. Setiap hari ia menulis jadwal kegiatan yang akan datang, tanggal ulang tahun sanak saudara, dan mencoret kegiatan yang sudah lewat. Dalam sebuah laci di kamarnya, secara urut ia menyimpan file-file asuransi, laporan pajak tahunan, dan kartu garansi barang-barangyang ia beli di dalam laci selama 10 tahun.
Aku sering menemaninya belanja dan menonton serial Bold and Beautiful dan General Hospital favoritnya.Tak jarang dia mengajakku membahas perkembangan politik seperti yang dimuat di Time, majalah langgananya sejak puluhan tahun.
. . .
Dalam waktu empat jam aku selesai membantu mengepak barang-barangnya. Satu koper pakaian, dua buah bantal kesayangannya, dan syal dari benang wol berwarna hijau dan oranye, yang dirajut amat rapi oleh almarhum ibunya, selama setahun. Beberapa seprai dan sarung bantal.
"Tempat tidur, lemari, kursi, sofa, semuanya berikan saja ke yayasan sosial. Mudah-mudahan berguna bagi orang lain," katanya sambil menyeka air mata dan tertatih-tatih berjalan menuju ruang tamu menatapi piano tuanya.
"Piano ini akan kuberikan pada ponakanku, Shelly." Ia duduk di depan piano dan memijat tuts-tutsnya.
"Kemana kau akan pindah?" tanyaku.
"Lokasi tempat tinggalku cukup bagus, di luarkota, di depan taman yang menghadap ke sungai" katanya.
"Kau akan bertemu dengan banyak orang di sana. Pasti menyenangkan."
"Di sini juga aku bertemu banyak orang," jawabnya cepat.
"Di sana ada perawat dan dokter jaga 24 jam."
"Itulah alasan utamaku menuruti anjuran dokter. Aku tak mau merepotkan adikku, dan tetanggaku. Aku tak mau mati di apartemen dan baru ketahuan setelah bau busuknya menyebar..."
Beberapa waktu lalu ada berita di surat kabar, seorang perempuan yang tinggal sendiri meninggal di apartemennya. Ia ditemukan setelah seluruh gedung mencium bau busuk. Petugas kemudian mendobrak apartemennya.
Tiga bulan kemudian aku bertemu Shelly di dalam metro. Ia mengabarkan tantenya baik-baik saja dan bahagia.
"Oh, ya,"Aku terbelalak senang mendengarnya.
"Ia tak mau ketika kami candai untuk pindah ke apartemen lagi."
"Syukurlah jika ia betah. Sebelumnya kukira ia akan sangat menderita berpisah dengan apartemennya. Aku pernah melihatnya menangis tak berkesudahan."
"Semula aku pun menduga begitu. Tapi kau pasti kaget mendengar dia sedang kasmaran..."
Berita itu sangat mengejutkan sekaligus menggembirakanku. "Siapakah pria yang berhasil menaklukannya?" tanyaku pada Shelly.
"Dia bertemu Dave yang juga tinggal di panti jompo itu. Mereka saling cinta. Dalam setiap kesempatan, mereka selalu bersama. Aku pernah melihat, mereka saling berpegangan tangan dan bertatapan di meja makan." Sambil mengatakan itu Shelly mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Aku berdoa agar percintaan mereka terwujud di altar," harapku.
Yvone berusia 80 tahun dan Dave 83 tahun.
0 Response to "Cinta Senja, Yvone"
Posting Komentar
buat kamu yang ingin bertanya, komentar, atau apa aja silahkan di isi dibawah ini
sekian terimakasih